Bimbingan Konseling

Bu Ani bertanya mengapa aku berkelahi denganmu.

Kita berdua diam. Aku berpikir mengapa kudorong bahumu— kau; kepala bodohmu itu entah berpikir apa. Aku berpikir berapa kali kumaki dirimu—

kau; entah mengapa, tiba-tiba menyerupai bajingan. Tapi kita berdua diam. Aku tidak jadi berbagi, “Dia menjual kesedihan, Bu.”

“Baru kesedihan, belum sampai kutawarkan kesengsaraan.”

Persembunyian

saat bulanku datang,
mataharimu datang

yang sama adalah langit
waktu bergeser sedikit-sedikit
menghubungkan taman langit

itu tempat bebas manusia,
bisa jadi tokoh utama
meski bukan sebenarnya

kucuci kaki dan cepat-cepat bermimpi
katanya disana serba bisa
ssshh
rahasia

Sekat

Rintik, biar kumenepi

Duduklah berteman sepi

Menikmati bayangan

Tak tergenggam lagi

Pernahkah berlari

Lalu berjalan

Pernahkan berjalan

Dan berlari, berlari

Ku untai bisik

Agar awan tak berbalik

Agar semesta tak pergi

Mengelilingimu

Pernahkah berlari

Lalu berjalan

Pernahkah berjalan

Dan berlari, berlari

Matilah, mati lentera berpendar

Hangat mentari bersinar

Menikmati bayangan

Tak tergenggam lagi

derai

Kau adalah sepi

Membayang anggun sepencapai

Kau adalah daratan, karena laut adalah dalam dan yang tinggi adalah gunung.

Diantaranya rendah tak besolek

Diam saja, menawan.

minta ditawan.

Matamu adalah dusta

dengan kisah ciamik penuh cahaya

sedang aku, tidak ada.

demi apapun,

demikianlah,

ilusi yang selamanya tak pernah kumengerti

kosong

Di matamu pernah berkedip rindu paling riuh

Bersanggakan pundak tak jua meluruh.

Oh, sudut kakimu membiru,

Lihatlah! jejak jejak kepulangan.

Biar, biar tuntas.

Berberaian diatas pijakan.

Aku,

Tersara bara

Menahan dan menunda gugur

Memunggungi hamparan segar.

Menunggu,

Dan setelah beribu tunggu,

Jejak-jejak bara tak sudi berkunjung,

Apalagi sampai.

Katanya sih, dari Alan buat Hani. Tapi lagi salah jurusan, hm.

Aku menepis segalanya

Pada sore ketika awan masih merapuh

Pada selembar kulit yang melepuh

Dan merapuh…

Lembayung tunggang gunung terapung-apung

Merenggang nyawa di ujung hidung

Sebab hatimu adalah palung yang dalam

Muramnya aku,

Sendirian,

Mengapung bingung.

Hingga pada teriknya badai

Kita tak lagi pandai mengantri

Tak memelihara yang terpatri

Padahal sibuk meratapi

Aku tak lagi ingin menjadi biru

Pada langitmu yang kian membiru.

Apalah artinya kita,

Jika terlalu segan bermakna.

Setelahnya,

Hati perlahan melapang

Tapi terus menyempit

Saat bayangmu mengintip

Baiknya,

Kita tak perlu menyapa.

Baiknya,

Kita akhiri saja.

Sebab,

Aku dan kau tak lagi memelihara

Aku dan kau tak lagi membiru

Pun, tak lagi mengasakan

Sejak awal,

Memang seperti ini.

Kita terampungkan

Tanpa permulaan

Tak pernah benar-benar saling

Selain saling berpaling.